Halaman

Sabtu, 07 April 2012

Pasien Askes 'Dipaksa' Bayar


Ilustrasi

Gara-gara stok Bahan Alat Kesehatan Habis Pakai (BHP) di laboratorium RSUD Banjarbaru seperti reagent widal dan trigliserada kosong, pasien terpaksa harus memeriksakan diri ke laboratorium swasta. Alhasil, pemeriksaan yang seharusnya gratis, mau tidak mau harus berbayar.
Kondisi itupun dirasakan salah seorang PNS yang terdaftar sebagai peserta Askes. Karena kekosongan BHP itu, ia terpaksa memeriksakan darah ke laboratorium swasta Banjarbaru. “Tadi katanya bahannya habis. Terus disuruh ke laboratorium lain,” ujar lelaki yang diketahui berprofesi sebagai dosen Unlam tersebut kemarin.
Setelah ditanyakan dengan Direktur RSUD Banjarbaru dr Hj Endah Labati Silapurna Basri MHKes melalui Kasi Sarana Bidang Penunjang, Ozi mengatakan, kekosongan BHP itu sebenarnya sudah dirasakan dua bulan yang lalu. Namun yang benar-benar terasa itu satu minggu terakhir. “Ini merupakan dampak dari kurangnya anggaran pada tahun 2011 kemarin. Yang seharusnya cukup sampai bulan April, tapi habis pada bulan Februari,” ujarnya kemarin.
Menurutnya, pengadaan bahan dan alat kesehatan bukan perkara mudah. Tim sudah melakukan perhitungan yang akurat, sehingga BHP terus tersedia hingga satu tahun kedepan. “Tahun 2011 kemarin, anggaran yang disetujui hanya 60 persen dari pagu anggaran yang kami usulkan,” ujarnya. Untungnya sambung Ozi tahun 2012 ini, pagu anggaran yang diusulkan sama dengan yang disetujui. Yakni sebesar Rp2,4 miliar.
Saat ini pihaknya sedang melakukan perhitungan kebutuhan hingga Mei 2013 mendatang. Rencananya proses lelang akan dimulai bulan April ini. Kendati demikian Ozi mengaku sudah banyak para distributor yang menghubunginya. Namun tak satupun berani ia terima, karena yang menentukan pemenang adalah panitia lelang. “Banyak yang masuk. Bahkan mereka bersedia menyediakan barang duluan, tapi kami tidak berani mengambil resiko,” ujarnya. [*]

Editor : undercover


Minggu, 01 April 2012

Soal Minyak, Indonesia 8 Kali Lebih Konsumtif dari Arab


JAKARTA - Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) menyatakan kebutuhan bahan bakar minyak nasional saat ini sudah di atas 1,2 juta barel per hari. Kebutuhan ini jauh di tas kemampuan kilang domestik yang hanya bisa memproduksi 700 ribu barel per hari. Karena itu sisanya harus impor.

"Ini tidak bisa dihindari," kata Kepala Divisi Humas, Sekuriti, dan Formalitas BP Migas, Gde Pradnyana, di Jakarta. "Bahkan seandainyapun produksi minyak mentah kembali ke 1,6 juta barel per hari, impor BBM juga tetap tidak bisa dihindari."

Dia mengingatkan bahwa Indonesia sangat membutuhkan energi untuk menopang perekonomian, dan minyak semakin sulit didapat dan diproduksikan, karena saat ini alam lebih banyak memberikan gas ketimbang minyak. Dengan demikian, masalah subsidi dan kenaikan harga BBM adalah realita yang harus disikapi oleh semua pihak.

BP Migas terus berupaya meningkatkan produksi minyak Indonesia, hal ini bisa dilihat dari tingkat pengurasan cadangan minyak Indonesia ternyata sangat tinggi, mencapai delapan kali laju pengurasan di negara-negara penghasil minyak utama dunia, seperti Arab Saudi dan Libya. 

Indonesia yang memiliki cadangan hanya sekitar 4 miliar barel memproduksikan minyak rata-rata 1 juta barel per hari. Artinya, reserve to production ratio negara kita hanya lah 4. Angka ini jauh di bawah Arab Saudi dan Libya.

Dengan cadangan minyak mencapai 265 miliar barel, Arab Saudi hanya memproduksi minyak rata-rata 8 juta barel per hari atau tingkat reserve to production ratio mencapai 35. Sementara Libya, yang memiliki cadangan minyak 46 miliar barel dan tingkat produksi sebesar 1,5 juta barel per hari, memiliki rasio 30.

"Artinya selama ini kita menguras cadangan minyak kita kurang lebih 8 kali lebih cepat dari Arab Saudi dan Libya. Dengan kata lain cadangan minyak kita 8 kali lebih cepat habis dari dua negara tersebut. Laju pengurasan minyak kita sudah tergolong sangat tinggi jika dibandingkan negara penghasil minyak lain," ujarnya.

Penemuan cadangan minyak yang berukuran cukup besar di Indonesia umumnya terjadi di Indonesia barat. Misalnya lapangan Minas, Duri, dan terakhir Cepu. Pengurasan cadangan Minas sudah dilakukan sejak tahun1950-an dan mencapai puncaknya th 1975 sampai 1976 dengan tingkat produksi di kisaran 250 ribu barel per hari dan menjadi penyumbang terbesar terhadap produksi nasional 1,5 juta barel per hari.

Produksi Turun

Sejak saat itu produksi Minas --jenis minyak mentah Indonesia --terus menurun dan kini hanya menghasilkan sekitar 70 ribu barel per hari. Penurunan dari Minas ini masih ditutupi dari pengurasan cadangan Duri yg dimulai sekitar tahun 1980-an dengan tingkat produksi sebesar kurang lebih 400 ribu barel per hari dan membuat produksi nasional kembali mencapai puncaknya di tahun1995- 1996 dengan produksi sebesar 1,6 juta barel per hari. 

Selanjutnya lapangan Duri-pun terus menurun produksinya seiring dengan menipisnya jumlah cadangan yg tersisa. Kini kedua lapangan Minas dan Duri hanya menghasilkan sekitar 360 ribu barel per hari.

Penemuan lapangan minyak lainnya ukurannya jauh lebih kecil. Sebaliknya eksplorasi yg belakangan ini gencar dilakukan di Indonesia timur menghasilkan penemuan cadangan-cadangan gas dalam jumlah besar, bukan minyak.  Misalnya Tangguh, area deepwater Selat Makassar (Gandang, Gendalo, Gehem, dll), Masela (Laut Timor), dan terakhir oleh Genting Oil di Bintuni.

Dari dua kenyataan itu, maka cadangan terbukti minyak nasional kita terus menyusut dalam 10 tahun ini dari 4,3 miliar barel menjadi 3,9 miliar barel. Sementara cadangan gas kita masih tetap tinggi, lebih dari 104 triliun kaki kubik.

"Industri hulu migas adalah industri pencarian (eksplorasi) dan pengurasan (eksploitasi) cadangan migas. Alam tidak bisa dipaksa untuk menghasilkan minyak ataupun gas, tetapi kita hanya bisa mencari dimana cadangan-cadangan tersebut berada dan kemudian mengurasnya dengan berbagai cara," ujar Gde. (*)

Editor : bim
Sumber : VIVAnews

SBY Banggakan Rasio Utang Indonesia Cuma 25 Persen PDB


JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan akan terus mengurangi jumlah utang Indonesia. Dia bangga rasio utang Indonesia sudah di bawah 25 persen. Padahal menurut data Kementerian Keuangan, rasio utang pemerintah masih di atas 28 persen.

"Jadi upaya kita untuk terus mengurangi atau memperbaiki rasio utang terhadap PDB yang tadinya tinggi sekali makin menurun, dan sekarang rendah di bawah 25 persen, itu juga dianggap bagus," kata SBY saat jumpa pers di kantornya, Jakarta, Jumat (16/12/2011).

Menurut data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kemenkeu yang dikutip detikFinance, total utang pemerintah Indonesia hingga November 2011 mencapai Rp 1.816,85 triliun atau naik Rp 48,81 triliun dibandingkan Oktober 2011 yang mencapai Rp 1.768,04 triliun.

Jika menggunakan PDB Indonesia 2010 yang sebesar Rp 6.422,9 triliun, maka rasio utang Indonesia per November 2011 tercatat sebesar 28,2 persen.

Pernyataan SBY soal rasio utang pemerintah ini beda dengan data Kemenkeu. Menurut data Kemenkeu dalam 10 tahun terakhir rasio utang pemerintah Indonesia tidak pernah di bawah 25 persen. Paling rendah rasio utang pemerintah adalah di 2010 sebesar 26 persen dan di November 2011 naik lagi menjadi 28 persen.

Berikut catatan utang pemerintah pusat dan rasionya terhadap PDB sejak tahun 2000 :

§  Tahun 2000: Rp 1.234,28 triliun (89%)
§  Tahun 2001: Rp 1.273,18 triliun (77%)
§  Tahun 2002: Rp 1.225,15 triliun (67%)
§  Tahun 2003: Rp 1.232,5 triliun (61%)
§  Tahun 2004: Rp 1.299,5 triliun (57%)
§  Tahun 2005: Rp 1.313,5 triliun (47%)
§  Tahun 2006: Rp 1.302,16 triliun (39%)
§  Tahun 2007: Rp 1.389,41 triliun (35%)
§  Tahun 2008: Rp 1.636,74 triliun (33%)
§  Tahun 2009: Rp 1.590,66 triliun (28%)
§  Tahun 2010: Rp 1.676,15 triliun (26%)
§  November 2011: Rp 1.816,85 triliun (28,2%)

Kenaikan peringkat Indonesia menjadi investment grade oleh Fitch Ratings kemarin bakal membuat biaya utang pemerintah meningkat. Namun SBY menyatakan akan menurunkan tingkat utang pemerintah. Kemudian SBY juga ingin terus menekan defisit anggaran di bawah 2,5 persen bahkan mendekati 0 persen di 2014 nanti.

SBY menyatakan peringkat Indonesia naik karena rasio utangnya lebih kecil dibanding negara-negara Eropa yang terlilit utang besar.

"Di tengah-tengah dunia termasuk negara maju yang ekonominya kuat, tapi karena rasio utangnya terhadap PDB tinggi, defisitnya tinggi sekali, mereka berjatuhan kolaps. Nah, kita sebaliknya, alhamdulilah, apa yang kita jaga dengan kebijakan yang tepat membuahkan hasil," katanya.

Menurutnya, kenaikan peringkat oleh Fitch membuktikan ekonomi Indonesia kuat dan prudent di tengah gunjang ganjing krisis utang di Eropa.
Seperti diketahui, kemarin lembaga pemeringkat kelas dunia, Fitch's Rating sudah menaikkan peringkat Indonesia dari BB+ menjadi BBB-. Ini merupakan peringkat yang setara dengan investment grade. (*)

Editor : bim
Sumber : detikFinance

Candu Utang Pemerintah Indonesia


JAKARTA - Utang pemerintah sudah menjadi masalah yang merisaukan sekaligus membuat miris. Pertama, karena jumlah utang sudah demikian menggunung. Menurut rilis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), jumlah utang pemerintah ini makin mendekati Rp 2.000 triliun. Persisnya sudah mencapai Rp 1.937 triliun. Tumpukan utang sebesar itu, jika dibagi rata kepada seluruh penduduk, maka tiap kepala kini menanggung beban utang sekitar Rp 7 juta.
Kedua, utang pemerintah ini membuat miris karena pinjaman terus-menerus bertambah. Seperti dilansir Suara Karya, kecanduan mengambil pinjaman yang dilakukan pemerintah bisa dilihat dari data setiap tahun selalu ada tambahan utang dalam jumlah signifikan. Tahun ini, misalnya, utang baru berjumlah senilai Rp 134 triliun. Sementara tahun lalu sekitar Rp 126 triliun.
Kalau beban utang ini sudah benar-benar memerangkap, kebangkrutan keuangan negara sungguh niscaya. Krisis keuangan yang kini melanda sejumlah negara Eropa adalah potret nyata tentang perangkap utang ini.
Di sisi lain, pemanfaatan dana pinjaman untuk proyek-proyek pembangunan sendiri tak benar-benar efektif. Betapa tidak, karena proyek-proyek pembangunan banyak diwarnai praktik mark-up, manipulasi, atau apa pun yang mengutub pada tindak korupsi.
Dulu, sebelum era reformasi, menurut tilikan begawan ekonomi nasional mendiang Sumitro Djojohadikusumo, tingkat kebocoran anggaran kita mencapai 40 persen. Nah, melihat eskalasi praktik korupsi sekarang ini yang demikian tinggi, bisa dipastikan tingkat kebocoran anggaran ini jauh lebih besar lagi. Padahal, sekali lagi, sumber anggaran negara banyak berasal dari pinjaman – entah pinjaman luar negeri ataupun pinjaman dalam negeri.  (*)

Editor : bim
Sumber : Suara Karya

Wow! Pemerintah Bayar Pokok dan Bunga Utang Rp 207,8 Triliun



JAKARTA - Pada periode Januari-November 2011, pemerintah tercatat telah membayar pokok dan bunga utang senilai Rp 207,872 triliun atau 77,71 persen dari target APBN-P 2011 Rp 267,509 triliun.  Demikian data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan yang dikutip detikFinance, Rabu (21/12/2011).
Tolak Utang
Untuk pokok utang, pemerintah tercatat telah menyicil pembayaran pokok utang senilai Rp 124,699 triliun atau 77,2 persen dari target APBN-P 2011 yang sebesar Rp 161,529 triliun. Adapun pembayaran pokok ini terdiri dari:
  • Pinjaman luar negeri telah dibayarkan pokoknya Rp 38,437 triliun atau 81,38 persen dari pagu APBN yang sebesar Rp 47,235 triliun.
  • Surat utang rupiah telah dibayarkan pokoknya Rp 86,261 triliun atau 76,14 persen dari pagu APBN yang sebesar Rp 113,294 triliun.
Sementara untuk bunga, selama Januari-November 2011 pemerintah telah membayarkan bunga utang dengan total Rp 83,173 triliun atau 78,48 persen dari pagu APBN yang sebesar Rp 105,98 triliun, dengan rincian sebagai berikut :
  • Pinjaman telah dibayarkan bunganya Rp 11,2 trilun atau 82,86 persen dari pagu APBN yang sebesar Rp 13,517 triliun, terdiri dari:
  • Pinjaman dalam negeri telah dibayarkan bunganya Rp 19 miliar atau 9,57 persen dari pagu APBN yang sebesar Rp 200 miliar
  • Pinjaman luar negeri telah dibayarkan bunganya Rp 11,181 triliun atau 83,96 persen dari pagu APBN yang sebesar Rp 13,317 triliun
Surat Utang Negara telah dibayarkan bunganya Rp 71,974 triliun atau 77,84 persen dari pagu APBN yang sebesar Rp 92,464 triliun, terdiri dari:
  • Surat Utang Negara rupiah telah dibayarkan utangnya Rp 59,185 triliun atau 77,92 persen dari pagu APBN yang sebesar Rp 75,96 triliun
  • Surat Utang Negara valas telah dibayarkan bunganya Rp 12,789 triliun atau 77,49 persen dari pagu APBN yang sebesar Rp 16,503 triliun
Seperti diketahui, total utang pemerintah Indonesia hingga November 2011 mencapai Rp 1.816,85 triliun atau naik Rp 48,81 triliun dibandingkan Oktober 2011 yang mencapai Rp 1.768,04 triliun.
Jika dibandingkan dengan jumlah utang di Desember 2010 yang sebesar Rp 1.676,85 triliun, jumlah utang hingga November 2011 bertambah Rp 140 triliun. Secara rasio terhadap PDB, utang RI juga naik dari 27,5 persen pada Oktober 2011 menjadi 28,2 persen pada November 2011.  (*)


Editor : bim
Sumber : detikFinance

Utang Indonesia Rp 1.800 Triliun

JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali berjanji untuk mengurangi jumlah utang pemerintah meskipun saat ini peringkat utang naik ke level investment grade. 

Ilustrasi
"Ke depan yang ingin kita lakukan adalah menjaga baik itu kebijakan atau tindakan dalam perekonomian kita. Kita akan terus mengurangi rasio utang terhadap GDP, kita akan terus mengurangi defisit menuju anggaran yang berimbang," jelas SBY dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta, Jumat (16/12/2011) sebagaimana dilansir detikFinance.com.

Dikatakannya, meski saat krisis global saat ini posisi Indonesia lebih baik, pemerintah tetap akan terus mengejar pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi lagi.

Menurutnya, rasio utang pemerintah Indonesia saat ini sudah menurun dan makin rendah mencapai di bawah 25 persen. Padahal menurut data Kemenkeu terbaru, rasio utang pemerintah mencapai di atas 28 persen di November 2011.

"Kita pun juga ingin menjaga defisit anggaran kita yang juga di bawah 2,5 persen bahkan mendekati 0 persen Insya Allah sampai tahun 2014 nanti," cetus SBY.

Menurut data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kemenkeu, total utang pemerintah Indonesia hingga November 2011 mencapai Rp 1.816,85 triliun atau naik Rp 48,81 triliun dibandingkan Oktober 2011 yang mencapai Rp 1.768,04 triliun.

Jika dibandingkan dengan jumlah utang di Desember 2010 yang sebesar Rp 1.676,85 triliun, jumlah utang hingga November 2011 bertambah Rp 140 triliun. Secara rasio terhadap PDB, utang RI juga naik dari 27,5 persen pada Oktober 2011 menjadi 28,2 persen pada November 2011. (*)


Editor : bim
Sumber : detikFinance